OPINI
Oleh : Nur Chamid
Akhir-akhir ini Kabupaten Bojonegoro selalu ramai dengan berita dan informasi seputar MIGAS, maklum saja semenjak ditemukan sumur minyak Banyuurip Blok Cepu di dalam perut bumi yang terkenal dengan sebutan Bumi Angkling Dharma. Bojonegoro ditasbihkan sebagai salah satu daerah penyangga energi nasional.
Ya, dengan produksi Banyu Urip Blok Cepu yang saat ini rata – rata dikisaran 220 rb barel/hari dan sedabg tahap uji untuk produksi menjadi 235 rb /BPOD. Menjadikan Bojonegoro sebagai daerah penyumbang terbesar lifting minyak nasional.
Selain sumur Banyuurip Blok Cepu, di Bojonegoro juga terdapat ribuan sumur tua peninggalan kolonial Belanda yang masih bisa di ambil minyaknya. Keberadaan sumur tua tersebut tersebar dibeberapa wilayah di kecamatan Kedewan dan Malo.
Selain sumur Banyuurip Blok Cepu dan sumur tua, Bojonegoro masih punya potensi Sumber Daya Alam yang melimpah yaitu Sumber Gas Jambaran-Tiung Biru yang saat ini sedang dalam on progres pengerjaan Kontruksi dan Fasilitas Produksi lainnya (EPC – GPF)
Setelah di tetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai salah satu proyek Strategis Nasional. JTB menjelma menjadi harapan baru bagi masyarakat Bojonegoro secara umum
Masyarakat terutama usia produktif kerja dan pelaku usaha sangat berharap untuk ikut terlibat dan merasakan kue yang ada di JTB.
Hal ini sangat wajar, sesuai dengan Undang-undang No 25 Tahun 2007 disebutkan bahwa “ setiap investasi harus bisa memberikan manfaat “.
Kata manfaat di sini, berarti ada hak – hak bagi masyarakat yang harus di berikan oleh perusahaan yang mananam investasi. Daerah juga berhak mendapatkan retribusi dari setiap investasi sehingga memberikan tambahan pendapatan, Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Lalu, apakah selama ini perusahaan – perusahaan yang mananamkan investasi di Bojonegoro sudah sepenuhnya melaksanakan kewajibannya dengan memberikan haknya daerah dan masyarakat??? Tentu tidak mudah untuk langsung menjawabnya.
Tapi yang pasti, disaat suatu investasi berjalan cenderung stagnan dan dipenuhi dengan teriakan-triakan lantang yang menuntut ini, itu dan sebagainya, sudah bisa di ambil kesimpulan bahwa sedang ada ketidak adilan di sana.
Bisa jadi itu terkait dengan haknya masyarakat yang dikebiri atau bisa juga karena manajemen perusahaan yang menanamkan investasi sedang enak – enakan dan bermain proyek didalam proyek.
Melihat akhir-akhir ini di Bojonegoro lagi ramai-ramainya aksi demo, gugatan di pengadilan bahkan sampai berkirim surat dan datang ke kantor DPR RI di senayan Jakarta, sudah bisa dipastikan bahwa telah ada masalah besar di Bojonegoro, terutama di dunia investasi migas.
Masyarakat yang pro keadilan merasa tergugah untuk menuntut keadilan itu, walau terkadang yang jadi lawannya adalah penguasa. Itu bukan jadi penghalang, karena menyampaikan aspirasi itu di atur oleh undang-undang dan juga merupakan hak setiap warga negara.
Lalu, apakah salah jika masyarakat berteriak dan menuntut haknya??? Apakah pantas dilindungi oknum internal perusahaan yang bermain-main di dalam proyek???.
Jawabnya tentu dikembalikan kepada undang – undang Negara Republik Indonesia yang berkaitan dengan itu semua.
Semoga riak-riak investasi yang ada di Bojonegoro segera sirna dengan uluran tangan undang – undang, sehingga dunia investasi kembali berjalan dengan lancar dan aman.
*Penulis adalah Ketua Yayasan Tunggak Semi Indonesia.
Comment