BOJONEGORO – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) secara tegas tolak Undang-Undang Omnibuslaw Cipta Kerja, karena dinilai ada beberapa pasal yang tidak berpihak kepada rakyat kecil terutama kaum buruh. Ada 11 klaster yang disederhanakan dalam Undang-undang Cipta Kerja melului konsep Omnibus Law. Antara lain: Perizinan berusaha, Persyaratan investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan dan Perlindungan UMKM, Kemudahan berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi.
Dari 11 klaster itu, klaster ketenagakerjaan yang paling menjadi sorotan serta menuai penolakan terutama di kalangan buruh. Sebab, aspek ketenagakerjaan terkait dengan banyak klaster yang mengatur kemudahan investasi. Selain itu, undang-undang Cipta Kerja juga ditolak karena prosedur legislasinya yang dinilai cacat hukum. Bahkan sampai saat ini gugatan pembatalan Surat Presiden (Surpres) Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diajukan masyarakat sipil masih bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Undang-undang Omnibus Law Cipta kerja juga dihasilkan dari proses yang tidak transparan serta tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. “Kejar tayang” undang-undang ini ditengarai untuk memberi karpet merah bagi investor. Pemerintah Joko Widodo sejak awal memang menggadang-gadang UU Cipta Kerja ini untuk menggenjot investasi.
Pada Februari lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama organisasi pers lainnya seperti IJTI, PWI, dan bahkan Dewan Pers, bersepakat menolak Omnibus Law Cipta kerja memasukkan pasal UU Pers karena akan memberi ruang pemerintah untuk campur tangan lagi dalam kehidupan pers. Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya.
Dalam perjalanannya, dua pasal dalam Undang-undang pers tersebut akhirnya dikeluarkan dari draft RUU hingga sah menjadi undang-undang. Meskipun pasal undang-undang pers tidak ikut diatur lagi dalam Undang-undang Cipta Kerja, namun isu ketenagakerjaan dalam undang-Undang Cipta Kerja ini juga akan mengancam nasib pekerja media.
Undang-undang Cipta Kerja juga melakukan perubahan-perubahan pada UU no 32/2002 tentang Penyiaran tidak terkait langsung dengan investasi. Justru perubahan di UU Cipta Kerja menguatkan kartel penyiaran yang selama ini mendominasi frekwensi penyiaran. Berikut pasal-pasal yang dinilai tidak pro buruh, merugikan pekerja media dan memperburuk penyiaran nasional, antara lain:
- Perusahaan dapat dengan mudah melakukan PHK terhadap pekerja (Pasal 154A).
- Hak memohon PHK dihapus (Pasal 169)
- Kontrak tanpa batas (Pasal 59)
- Hari Libur dipangkas (Pasal 79)
- Aturan soal pegupahandiganti (Pasal 88)
- Sanksi tidak bayar upah dihapus (Pasal 91)
Selain itu, AJI juga menyoroti terkait Penyiaran yang dianggap akan memperburuk kondisi penyiaran di Indonesia, yaitu, Ada 3 hal perubahan penting yang membuat kondisi penyiaran nasional memburuk. Pasal 33 UU no 32/2002 ditambahkan ayat 3 “Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah, dengan cakupan wilayah siaran penyelenggaraan penyiaran dapat meliputi seluruh Indonesia.”
Pasal sisipan ini artinya melegalkan praktek pelanggaran UU Penyiaran no 32/2002 yang selama ini terjadi. Stasiun TV menurut UU Penyiaran no 32/2002 tidak bisa melakukan penyiaran dengan cakupan wilayah siaran nasional. Setiap stasiun TV harus melakukan siaran lokal di provinsi atau dinamakan sistem Stasiun Siaran Jaringan (SSJ). Jika SSJ ditegakkan justru akan memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh. Namun dengan masuknya ayat 3 di atas, maka praktis SSJ tidak akan berjalan dan yang terjadi TV siaran nasional akan makin masif. Ini justru mematikan ekonomi kreatif lokal bahkan budaya daerah tidak mendapatkan tempat.
Peran KPI dalam proses perijinan penyiaran dihilangkan, Pasal 34 dihapuskan. Dihapusnya pasal 34 ini mengakibatkan 2 konsekuensi fatal. Pertama, peran KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dalam proses perijinan penyiaran dihilangkan. Sebelum ini KPI berperan memberi rekomendasi pada proses perijinan. Wewenang perijinan penyiaran kembali 100% di tangan pemerintah. Ini mengkhianati amanat Reformasi. Karena dalam UU Penyiaran no 32/2002 awalnya KPI mempunyai wewenang penuh memberikan perijinan penyiaran.
Lembaga KPI hadir sebagai wujud representasi lembaga negara, bukan lembaga pemerintah seperti Kominfo. Namun karena gugatan JR, maka pasal yang memberi wewenang KPI dalam hal perijinan dibatalkan MK. Dan peran KPI hanya sebatas rekomendasi. Sekarang dengan adanya UU Cipta Kerja, kita kembali ke era masa sebelum Reformasi atau Orde Baru, di mana perizinan penyiaran di tangan pemerintah.
Konsekuensi kedua adalah pada pasal 34 diatur batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio. Serta diatur izin penyiaran tidak boleh dipindahtangankan ke pihak lain. Dengan dihapusnya pasal ini, maka batas waktu perizinan penyiaran tidak lagi diatur UU, bisa jadi diatur Peraturan Pemerintah yang mungkin jadi 30 tahun atau malah 90 tahun. Dan juga izin penyiaran bebas dipindahtangankan. Menjadi komoditi.
Wewenang penentuan migrasi digital ditarik semua ke pemerintah, Pasal 60 A adalah pasal tambahan yang mengatur migrasi digital. Memang proses migrasi digital ini Indonesia sudah terlambat belasan tahun. Namun penyebabnya adalah macetnya proses legislasi di DPR. Dengan adanya pasal 60A ini maka wewenang penentuan migrasi digital sampai bagaimana pilihan sistem multipleksing apakah single mux ataukah multi mux, ditarik semua ke pemerintah.
Padahal penentuan sistem multipleksing ini perlu diatur di tingkat UU, karena migrasi digital tidak hanya sekedar pilihan teknologi tetapi juga bagaimana aturan main bisnis penyiaran dilakukan. Pilihan multi mux akan diikuti dengan dihidupkannya kembali hasil lelang mux yang diatur dalam Permenkominfo Nomor 32 Tahun 2013. Artinya multi mux sudah ada pemenangnya, yaitu dikuasai oleh stasiun-stasiun TV besar dan berpotensi terjadinya persaingan bisnis tidak adil. Karena sebagai pemilik mux sekaligus stasiun televisi, juga menyewakan kanal pada stasiun televisi lain yang menjadi kompetitor.
Berikut bunyi pasal 60A:
- Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital.
- Migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Atas itulah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai isu ketenagakerjaan di dalam UU Cipta Kerja juga terkait dengan perjuangan kesejahteraan yang selama ini menjadi Tri Panji AJI. Karena itu AJI bersama Masyarakat SIpil Tolak Omnibus law.
AJI menyerukan kepada seluruh anggota AJI kota di seluruh Indonesia untuk bersatu menyatakan penolakan terhadap Undang-undang Omnbus law Cipta kerja. AJI Indonesia akan menggelar sejumlah kampanye dan aksi demonstrasi.
(Red)
Comment